Kembali ke Tanah Kelahiran, Tulungagung.

By orangemitrada - 14.7.15

Setelah kejar-kejaran dengan deadline sidang dan pekerjaan, saya pulang ke tanah kelahiran tapi bukan kampung halaman. Nasib bagi kami (red: saya dan adik saya) yang bernama Jamin ini adalah tidak memiliki kampung halaman yang sebenarnya kampung halaman. Tapi, mari lupakan sejarah nama itu. Kapan-kapan mungkin saya bahas. Dan inilah sekelumit kisah sepanjang perjalanan kami pergi dan pulang.

Tulungagung, Jawa Timur.
Saya penasaran dengan kota kelahiran saya ini, maka saya iseng untuk sekedar baca dan dapat tulisan ini dari salah satu situs yang saya telusuri di internet.Tentang sejarah asal mula nama Tulungagung ternyata tidak langsung timbul begitu saja. Tulungagung berasal dari dua kata Tulung dan Agung. Kata Tulung mempunyai dua arti yaitu:
(Pertama) Tulung dalam bahasa Sanskerta artinya sumber air atau dalam bahasa Jawa dapat dikatakan Umbul. (Kedua) Tulung yang berarti pemberian, pertolongan atau bantuan. Adapun "Agung" berarti besar. Jadi lengkapnya Tulungagung mempunyai arti "Sumber air besar" atau "Pertolongan besar".

Terus iseng-iseng lagi mencari di wikipedia dan ternyata ada :D
Ada dua versi cerita dalam penamaan nama Kabupaten Tulungagung.

Versi pertama adalah nama "Tulungagung" dipercaya berasal dari kata "Pitulungan Agung" (pertolongan yang agung). Nama ini berasal dari peristiwa saat seorang pemuda dari Gunung Wilis bernama Joko Baru mengeringkan sumber air di Ngrowo (Kabupaten Tulungagung tempo dulu) dengan menyumbat semua sumber air tersebut dengan lidi dari sebuah pohon enau atau aren. Joko Baru dikisahkan sebagai seorang pemuda yang dikutuk menjadi ular oleh ayahnya, orang sekitar kerap menyebutnya dengan Baru Klinthing. Ayahnya mengatakan bahwa untuk kembali menjadi manusia sejati, Joko Baru harus mampu melingkarkan tubuhnya di Gunung Wilis. Namun, malang menimpanya karena tubuhnya hanya kurang sejengkal untuk dapat benar-benar melingkar sempurna. Alhasil Joko Baru menjulurkan lidahnya. Disaat yang bersamaan, ayah Joko Baru memotong lidahnya. Secara ajaib, lidah tersebut berubah menjadi tombak sakti yang hingga saat ini dipercaya "gaman" atau "senjata sakti". Tombak ini masih disimpan dan dirawat hingga saat ini oleh masyarakat sekitar.

Sedangkan, versi kedua nama Tulungagung berasal dua kata, tulung dan agung, tulung artinya sumber yang besar, sedangkan agung artinya besar. Dalam pengartian berbahasa Jawa tersebut, Tulungagung adalah daerah yang memiliki sumber air yang besar. Sebelum dibangunnya Bendungan Niyama di Tulungagung Selatan oleh pendudukan tentara Jepang, di mana-mana di daerah Tulungagung hanya ada sumber air saja. Pada masa lalu, karena terlalu banyaknya sumber air disana, setiap kawasan banyak yang tergenang air, baik musim kemarau maupun musim penghujan.

Dugaan yang paling kuat mengenai etimologi nama kabupaten ini adalah versi kedua, penamaan nama ini dimulai ketika ibu kota Tulungagung mulai pindah di tempat sekarang ini. Sebelumnya ibu kota Tulungagung bertempat di daerah Kalangbret dan diberi nama Kadipaten Ngrowo (Ngrowo juga berarti sumber air). Perpindahan ini terjadi sekitar 1901 Masehi.

Sebelum-sebelumnya, saya tidak sampai seniat ini untuk cari tahu dan baca-baca. Tapi sekarang saya mulai tersadarkan, untuk mencintai dan menghargai sesuatu lebih dalam, kamu perlu tahu siapa dan apa sebenarnya di balik dari suatu hal. Dan ini berlaku untuk semua hal saya rasa. Belakangan juga, pariwisata kota Tulungagung menjadi semakin tersebar di masyarakat luas. Sajian acara yang ada di televisi pasti sedikit banyak turut andil dalam hal ini. Bahkan, jujur saja saya juga penasaran untuk mendatangi semua tempat karena tahu dari salah satu acara di salah satu stasiun televisi ditambah dengan sudah cukupnya usia saya untuk pergi jauh dari orang tua tanpa harus bersama mereka. Dulu-dulu, meskipun saya sangat ingin pergi ke mana-mana, saya tetap harus manut jika orang tua saya bilang tidak boleh karena dianggap masih kecil dan butuh ditemani oleh mereka.

Well,
Time flies, right?

Saya yang hanya tahu Tulungagung karena akibat silsilah keluarga dan numpang lahir, menjadi haus akan apa saja yg ada di sana. Seingat saya dulu jalan-jalan yang saya lalui bukan seperti saat ini dimana wajah kota semakin dibenahi oleh pemerintah setempat. Seingat saya dulu rumah-rumah tetangga nenek tidak sebagus-bagus saat ini, dimana hanya dinding yg berupa bilik bambu dan lantai masih tanah. Tapi, ketika waktu terus berputar dan saya semakin bertambah usia maka semua itu juga pasti berubah.


Tahun ini, saya bersyukur bisa ke Tulungagung lagi dengan lebih terbukanya pikiran dan melihat detail setiap jalan yang saya lalui.


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar