"Iya, besok gue ultah! Gue udah nyiapin list apa aja yang mau gue lakukan hari ini sampai malam nanti dan apa aja juga yang bakal gue lakuin besok seharian di tanggal keramat itu. Pokoknya rencana ini udah gue rancang matang sejak sebulan lalu. Lo, Fa. Lo yang harus jadi saksi semua yang gue lakukan hari ini sampai besok. Jadi intinya, Lo harus selalu sama gue. Kemanapun gue. Okay, ke toilet adalah pengecualian tentu saja."
---
Rangkaian kalimat itu nempel banget di kepala gue. Gue gak akan pergi dari sini, Ti. Gue kan udah janji. Gue akan ada buat lo, lo gak perlu khawatir lagi. Tenang aja. Ada gue, Ti. Ada gue. Kado lo juga masih belum lo bukain. Lo udah nyusahin gue minta kado segini banyak. Dasar bocah. Mana ada sih yang request kado sesuai jumlah umur kecuali lo. Giliran dikasih banyak, sekarang malah lo diemin aja. Lo maunya apa sih. Kok kampret.
"Fa, terima kasih ya Nak. Kamu sebaiknya pulang. Ini sudah malam sekali, pasti orang tua kamu juga cemas kamu belum di rumah."
"Fa?"
Senggolan halus di tangan membuyarkan lamunan gue seketika. Oh, ternyata Om Ed ngajak ngomong gue. Mukanya pias sekaligus lelah, tapi tetap teduh macem biasa. Gue yakin ini orang dape jatah kesabaran tiada tara dan kekuatan hati yang made in baja.
"Eh iya, Om. Gapapa ko, Om. Saya udah izin Ayah. Kalau Om ga keberatan, saya temenin Om di sini sampai semuanya selesai ya, Om? Boleh? Kasian juga kan Moti sendirian. Lagian saya udah janji sama dia kalau saya spare waktu 2x24 jam tahun ini khusus buat dia. Boleh kan, Om?" gue mencoba meyakinkan Om Ed.
Tenang, Ti. Gue akan tepati janji gue.
Dua buah bulatan hijau di pojok kiri layar masih tetap sama sampai satu jam berlalu lamanya. Getta hanya bisa melirik lagi kemudian lagi dan lagi. Sempat dibuka, siap menuliskan sesuatu tapi urung dilakukan. Ditutup kembali dan membiarkan bulatan hijau itu menyala tanpa pernah disapa. Hari-hari berlalu saja seperti itu seterusnya. Sampai suatu hari bulatan itu memunculkan kotak percakapan kecil di sebelah kanan bawah. Tidak langsung terbaca karena masih sibuk dengan jendela lain yang berisi pekerjaan dan harus segera diselesaikan. Ketika akhirnya dibuka, bulatan hijau hanya tinggal satu di pojok kiri. Tapi pesan sudah ia terima.
"Aku rasa aku akan berhenti."
Getta terdiam memandangi pesan itu. Dalam benak ia bertanya apa maksudnya. Kenapa harus berhenti. Dari apa? Getta memberondong kemudian dengan sejumlah pertanyaan di kepala. Ia pikir ini adalah kesempatannya untuk bisa bicara panjang lebar dengan manusia itu. Topik yang diangkatnya bukan topik sederhana yang akan sekali dua kali selesai. Ia akan punya banyak waktu untuk bisa bisa membahasnya. Harapan Getta terlalu tinggi rupanya.
Tidak pernah ada pembahasan lebih lanjut dari semua pertanyaannya. Getta hanya bisa puas dengan jawaban diplomatis yang keluar dari mulut orang itu. Dalam hati Getta mencoba mengerti tapi sekaligus malah memunculkan banyak pertanyaan baru dan keraguan. Lalu untuk apa lagi dia masih di sini?
Bagi Getta, eksistensi manusia itu adalah segalanya di sini. Meski dua bulatan kecil tetap menyala di pojok kiri, tidak pernah ada lagi percakapan di hari-hari Getta setelahnya.
Jadi begini rasanya, batinnya. Getta menutup jendela dan mengambil buku untuk kemudian pergi ke dunia yang lebih jelas kemana jalan akan berakhir.
"Aku rasa aku akan berhenti."
Getta terdiam memandangi pesan itu. Dalam benak ia bertanya apa maksudnya. Kenapa harus berhenti. Dari apa? Getta memberondong kemudian dengan sejumlah pertanyaan di kepala. Ia pikir ini adalah kesempatannya untuk bisa bicara panjang lebar dengan manusia itu. Topik yang diangkatnya bukan topik sederhana yang akan sekali dua kali selesai. Ia akan punya banyak waktu untuk bisa bisa membahasnya. Harapan Getta terlalu tinggi rupanya.
Tidak pernah ada pembahasan lebih lanjut dari semua pertanyaannya. Getta hanya bisa puas dengan jawaban diplomatis yang keluar dari mulut orang itu. Dalam hati Getta mencoba mengerti tapi sekaligus malah memunculkan banyak pertanyaan baru dan keraguan. Lalu untuk apa lagi dia masih di sini?
Bagi Getta, eksistensi manusia itu adalah segalanya di sini. Meski dua bulatan kecil tetap menyala di pojok kiri, tidak pernah ada lagi percakapan di hari-hari Getta setelahnya.
Jadi begini rasanya, batinnya. Getta menutup jendela dan mengambil buku untuk kemudian pergi ke dunia yang lebih jelas kemana jalan akan berakhir.
Angel berjalan melewati lorong di belakang sekolah, malu-malu
sekaligus takut ketahuan. Super excited. Baru kali dia berani bolos dari kelas
hanya demi melihat anak lelaki itu sekali lagi. Dia merutuki dirinya sendiri,
kenapa harus sampai menyelinap keluar kelas hanya untuk seorang anak laki-laki
yang dia bahkan tak tahu siapa. Eh, tapi kalau tidak hari ini dicari tahu
bagaimana aku akan tahu pikirnya. Ini kesempatan pertama dan mungkin yang
terakhir yang dimiliki oleh Angel. Jadi, siapakah anak lelaki itu? Lelaki yang
berhasil membuat Angela Sastro Atmoko-gadis pintar dan disiplin di SMA Taruna
Persada-melakukan hal gila sekali ini.
Fray sudah siap dengan tasnya di bahu, angkat kaki dari tempat yang
menurutnya sungguh terkutuk. Penuh dengan aturan memuakkan. Tidak membiarkannya
sedikitpun kebebasan waktu untuk sekedar membiarkan mimpinya tumbuh. Hari ini,
Fray pindah sekolah. Dia berhasil mengancam Kak Sisca untuk memindahkannya ke
sekolah yang lebih biasa. Sekolah umum. Tujuannya satu, dia merasa sekolah umum
dan biasa akan memberikannya banyak waktu untuk bersantai dan membiarkannya
melakukan impiannya. Fray Anjar Pradika salah besar. Tempat barunya setelah ini
justru akan menelannya dalam petualangan yang sama sekali tak menyisakan
pilihan lain selain tetap terjaga dan tidak bisa bermimpi sama sekali.
Kata Bapak,
Kita memang orang sederhana, tidak kaya raya dan tidak bisa semau kita kalau mau apa saja. Tapi kita punya harga diri sebagai manusia.
Ga bisa, Pak. Bahkan aku merasa harga diriku sudah jauh kutinggal di sela gang dan di atas kasur busa. Kutanggalkan satu-satu. Kunikmati pilu. Tapi lambat laun Bapak tahu, ternyata harga dirinya yang kini jauh terasa lebih pilu.