Prau Berangin

By orangemitrada - 7.10.19

Mau ngajak Reza aja tadinya, soalnya yang lain suka lama ngasih respon. Belum lagi maju mundur perihal jadwal berangkat yang ujung-ujungnya malah ga jadi. Tapi sekarang lebih ketat peraturannya. Tidak diizinkan kalau cuma jadi perempuan satu-satunya di perjalanan yang tanpa mahrom-nya. Baik. Padahal jadinya juga ada Agist. Tapi tetep, karena Agist bukanlah wanita maka pencarian harus tetap dilakukan.  Makanya, Dina harus ikut. Wajib. Karena kalau ngajak Rendy juga tidak memungkinkan. Dia harus kerja meanwhile gue liburan. Gak boleh barengan liburnya. Hehehe. (Sabar-sabar ya, Dek. Namanya juga lagi belajar kerja. Nikmatin aja.)
Di detik terakhir sebelum pesan tiket pulang, Tomi gabung bareng. Katanya sih butuh penghilang penat dan rehat sejenak. Tapi percayalah, gue rasa pulang dari sini dia makin cenat-cenut dan gagal refresh otak. Takdir berkata lain. I've been there, Dude. I can feel you :p

Prau di mata orang lain adalah gunung-gunungan yang dicap mudah sekali didaki, kurang menantang, ramai orang, tempat untuk sekedar wisata pasar tumpah. Eits, tapi jangan salah. Ga gitu juga ko. Setiap perjalanan di gunung manapun, itu ga pernah bisa dianggap sepele. Tetep aja butuh persiapan matang dan koordinasi tim yang baik. 
Menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk memilih jalur awal pendakian kepada yang sudah berpengalaman sebelumnya, Reza, adalah hal yang tepat. Kami lewat jalur Dwarawati setelah Jumatan dan isi perut. Jalurnya adem, banyak pohon, bisa santai dan betul-betul sepi. (Tidak seperti kata orang-orang yang katanya Prau padet amat). Tapi karena memang sedang musim kemarau yang panjaaaang ini, hujan tak turun-turun, efek selanjutnya adalah udara di Dieng semakin dingin dan ditambah angin kencang. Makin semriwing, Cuy!.
Perjalanan yang sunyi senyap ini menyajikan banyak pemandangan cihuy, yang beneran bisa bikin gue ngerasa damai banget. Entah kenapa, tujuan perjalanan kali ini gue beneran cuma pengen menyepi dan bahagia karenanya. Sesimpel itu. Gue butuh rehat dari kejar-kejaran deadline, berisiknya isi kepala, dan warna-warni pantone di meja.
Langitnya bagus sepanjang perjalanan, udaranya seger, cuma angin doang yang geber-geber. Padahal jaket udah macem kue lapis. Tetep nembus dan juga bikin jari-jari super kaku. Pasca bikin tenda dan ganti baju, makan malem terus langsung tidur. Ga sanggup kalau disuruh keluar tenda bikin timelapse ala-ala milky way. No way. 
Btw, FYI. Baru pertama kali ini sepanjang sejarah gue pergi kemping, kita punya tenda cuma sendirian di area camp. Sampai akhirnya ada empat orang yang bikin sebuah tenda agak jauh di depan kita. Senyap. Tapi gue suka, saat itu.
Malam berlalu dan sepanjang malam juga gue harus nahan pipis, karena takut juga mau keluar sendirian karena ga ada satupun teman yang bisa dibangunin. Set dah. Sampai akhirnya Shubuh datang dan gue bisa minta temenin Agist yang juga berasa hal yang sama. Hamdalah. Lega! Sumpah. 


Langit mulai terang, kita pergi menyusuri setapak menuju atas bukit di atas area camp. Menanti matahari terbit. Tapi angin tetap ga santai. Jangan harap bisa lihat hasil foto ciamik ala-ala selebgram. Kita berlindung di balik jaket masing-masing dan tangan terbungkus di dalam. Menggigil. Beberapa kali curi-curi kesempatan, menghilangkan rasa dingin. Menangkap momen-momen syahdu dari Prau. 
Ini betulan indah lho. 

Duduk di spot yang anginnya ga heboh amat, dapet pemandangan beginian.

Si Duo kesayangan. Sindoro Sumbing yang belum sempat jadi tempat main.

Surya Pagi, bukan Surya Citra Televisi yaa

Semakin tua, gue sadar, gue ga lebih dari butiran debu buat alam semesta yang udah Tuhan cipta. Gue tahu masih banyak sekali salah-salah yang selalu gue buat dan terus gue ulang. Mengeluh tentang banyak hal. Merengek minta ini dan itu ga kenal waktu. Sampai pernah menyerah dan bilang bahwa sepertinya ada yang salah dengan takdir gue. 
Tapi, di saat bersamaan, hati dan otak gue kerja sama menyadari hal lain yang cukup prinsipal. Gue hidup di dunia ini pasti ada misinya. Punya tujuan. Soalnya gue manusia. Kutu aja ada gunanya. Apalagi gue.

Mungkin, kalau gue lagi ga karuan, gue cuma perlu jalan-jalan sebentar seperti ini. Biar otak warasnya balik lagi dan siap buat menjalankan misi. Jadi makhluk berguna. 

Datang ke tempat tinggi, menyediakan lebih banyak waktu untuk berekleksi. 

Udah gitu aja.

--
Buat si cupu turun gunung macam gue ini, jalur pulang yang dipilih Reza bikin sebel. Gue ga suka Patak Banteng. Sungguh T.T
Gue harus bergantung sama Tomi selama perjalanan, untung dia sabar banget. Makasih lho, Tom. Jadi tahu kan kenapa di Gede gue harus sama Alfa dan di Ciremai gue harus sama Yudha.

Ini juga jadi cerita paling ga berstruktur jalan-jalannya Ria. Tapi gapapa. Perjalanan kali ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Drama sejak berangkat aja udah bikin tegang dan menantang, bisa jadi judul baru malah, "Mengejar Bus di Kota Jakarta". Terus drama selanjutnya, "Aku ditinggal di Rest Area". Oh satu lagi, "Niat Kemping Ceria, Hapeku Hilang Entah di Mana".


Haha, 
What a Day!
R.


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar